Mengapa Engkau Menikahinya?

Karena aku mencintainya, dari mana cinta itu datang? Karena dia cantik, bagaimana kau tau kecantikan itu akan abadi? Karena dia kaya, tahukan engkau akan membawamu kemana kekayaan itu? Karena dia hebat, sehebat apa hebat itu?

Tempo hari, saya sudah sharing di sebuah postingan “Jodoh di Tangan Siapa? (An Nur : 26 Vs Mario Teguh) yang berjudul bahwa yang menilai baik atau tidaknya seseorang adalah bukan manusia, bukan kita, tapi Alloh yang Maha Mengetahui.

Nah, lalu bagaimana selanjutnya kita menjatuhkan pilihan itu? Bagaimana kita yakin bahwa apa yang kita pilih adalah yang terbaik untuk kita? Terkadang kita sendiri meragukan apa yang ada di depan kita. Karena faktor lingkungan, faktor teman, saudara, keluarga yang mungkin hanya bisa menilai dari luar. Tidak jarang jika pada akhirnya terdengar ungkapan bahwa kenapa kamu memilih si A, si B, dan seterusnya. Satu demi satu ungkapan, penilaian, pendapat dari sekitar (baca : external), adalah awal mula sebuah titik keraguan akan orang yang sudah Anda pilih. Apakah dia baik? Atau kah saya yang kurang baik sehingga harus mendapatkan orang yang kurang baik seperti dia? Naudzubillah, singkirkan jauh-jauh pikiran seperti itu, dan mulai berbaiksangkalah kepada Alloh, yang Maha Tahu apa yang renik dan tak tampak.

Ada beberapa kisah yang mungkin bisa diambil pelajarannya. Seorang pecandu narkoba, yang tak pernah kenal istilah sholat dan bagaimana agama baginya, namun Islam pengakuannya. Suatu hari dipertemukan dengan seorang wanita yang asal muasalnya dibesarkan dari sebuah panti asuhan, Tak ber-ayah dan tak ber-ibu yang dia tahu. Sudah yatim dan piatu sejak kecilnya. Dibesarkan di lingkungan panti, hingga mengantarkannya menjadi wanita muslimah yang sholihah. Singkat cerita, wanita inilah yang mampu menyadarkan laki-laki awam dan jauh dari agamnya tersebut. Bagaikan sorotan cahaya tajam dari sebuah kegelapan di dalam gua, itulah yang dirasakan laki-laki tersebut. Lalu bagaimana kesimpulannya? Apakah wanita itu hanya tampak baik di luar, dengan balutan busana muslimah yang anggun dan akhlaq yang mulia? Bagaimana dalamnya hati wanita itu, seputih apa, sebaik apa? Atau jangan-jangan pada dasarnya laki-laki itu begitu hebat dan baiknya, namun perjalanan hidup sedikit membelokkan dia menuju sebuah ruang gelap yang menyesatkan, tanpa arah dan tujuan. Akan tetapi pada akhirnya, laki-laki itu menemukan jalan yang selama ini harusnya menjadi jalannya?

Haruskah seorang dengan panggilan ustadz menikah dengan seorang dengan wanita bergelar ustadzah? Apakah tidak mungkin ustadzah itu baru ada ketika pernikahan itu terjadi? Atau sebaliknya? Banyak cerita (baca salah satunya di sini) dan bukti yang mengarah bahwa balutan kebaikan fisik adalah bukan jaminan penilaian manusia, dan compang campingnya keburukan fisik adalah hal yang dapat membuat seseorang menjatuhkan gelar “oooh, orang ini tidak baik, jangan sampe berdekatan dengannya”. Sungguh, sempit sekali pemikiran yang demikian.

Mengapa engkau memilihnya dan pada akhirnya engkau menikahinya?

Sudah sering terdengar ungkapan bahwa jika engkau mencintai seseorang karena sebuah alasan, maka jika alasan itu sudah pudar, cintamu akan pudar bersamanya. Dalam artian, banyak orang yang tidak tahu alasan mengapa jatuh cinta, mengapa suka? Dan banyak orang bangga pula dengan ketidaktahuan alasan itu dengan tendensi berarti cintanya tulus, tanpa pamrih alasan bla bla bla…

Padahal….

Yah, Islam sudah mencontohkan semua kasus dalam kehidupan. Hadits dari Yahya bin ja’dah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim).

Tidak boleh sempit menafsirkan hadits ini. Selalu banyak wacana di dalam Islam, dan itulah indahnya menggalih lebih dan lebih jauh tentangnya.

Sebuah kisah. Yahya bin Yahya an Naisaburi berkata, “Kami adalah empat laki-laki bersaudaraMuhammad, Imron, Ibrahim dan aku sendiri. Muhammad adalah kakak yang paling sulung sedangkan Imron adalah bungsu. Sedangkan aku adalah tengah-tengah. Ketika Muhammad hendak menikah, dia berorientasi pada kehormatan. Dia menikah dengan perempuan yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada dirinya. Pada akhirnya dia jadi orang yang hina. Sedangkan Imron ketika menikah berorientasi pada harta. Karenanya dia menikah dengan perempuan yang hartanya lebih banyak dibandingkan dirinya. Ternyata, pada akhirnya dia menjadi orang miskin. Keluarga istrinya merebut semua harta yang dia miliki tanpa menyisakan untuknya sedikitpun (http://ustadzaris.com/nikahilah-wanita-karena-agamanya).

Maka menurut saya, harus ada sebuah alasan real, mengapa engkau menikahi pasanganmu? Nikahilah seseorang karena kau yakini agamanya baik, karena kebaikan yang terpancar dari hatinya. Dan jangan pernah menilai dengan sebelah mata bagaimana kebaikan seseorang itu. Karena sesungguhnya, kita manusia hanya mampu menilai apa yang kasat mata, apa yang tampak. Yang renik, bahkan yang tak tampak sekalipun, kita tak punya daya apapun untuk menilai. Yakinilah dengan pilihan Anda, dan berbahagialah karena engkau menikahinya.

Perjuangkan cinta yang layak membawa Anda untuk selalu dekat dengan Alloh, yang menjunjung tinggi Agama Islam. Perjuangkan hingga detik terahir, meskipun kau tau bahwa 99% adalah gagal, namun masih ada 1% celah keberhasilan.

Ganbareba, Dekiru!

 

Karena aku mencintainya, dari mana cinta itu datang? Karena dia cantik, bagaimana kau tau kecantikan itu akan abadi? Karena dia kaya, tahukan engkau akan membawamu kemana kekayaan itu? Karena dia hebat, sehebat apa hebat itu?

Tempo hari, saya sudah sharing disebuah postingan “Jodoh di Tangan Siapa? (An Nur : 26 Vs Mario Teguh) yang berjudul bahwa yang menilai baik atau tidaknya seseorang adalah bukan manusia, bukan kita, tapi Alloh yang Maha Mengetahui.

Nah, lalu bagaimana selanjutnya kita menjatuhkan pilihan itu? Bagaiama kita yakini bahwa apa yang kita pilih adalah yang terbaik untuk kita? Terkadang kita sendiri meragukan apa yang ada di depan kita. Karena faktor lingkungan, faktor teman, saudara, keluarga yang mungkin hanya bisa menilai dari luar. Tidak jarang jika pada akhirnya terdengar ungkapan bahwa kenapa kamu memilih si A, si B, dan seterusnya. Satu demi satu ungkapan, penilaian, pendapat dari sekitar (baca : external), adalah awal mula sebuah titik keraguan akan orang yang sudah Anda pilih. Apakah dia baik? Atau kah saya yang kurang baik sehingga harus mendapatkan orang yang kurang baik seperti dia? Naudzubillah, singkirkan jauh-jauh pikiran seperti itu, dan mulai berbaiksangkalah keda Alloh, yang Maha Tahu apa yang renik dan tak tampak.

Ada beberapa kisah yang mungkin bisa diambil pelajarannya. Seorang pecandu narkoba, yang tak pernah kenal istilah sholat dan bagaimana agama baginya, namun Islam pengakuannya. Suatu hari dipertemukan dengan seorang wanita yang asal muasalnya dibesarkan dari sebuah panti asuhan, Tak ber-ayah dan tak ber-ibu yang dia tahu. Sudah yatim dan piatu sejak kecilnya. Dibesarkan di lingkungan panti, hingga mengantarkannya menjadi wanita muslimah yang sholihah. Singkat cerita, wanita inilah yang mampu menyadarkan laki-laki awam dan jauh dari agamnya tersebut. Bagaikan sorotan cahaya tajam dari sebuah kegelapan di dalam gua, itulah yang dirasakan laki-laki tersebut. Lalu bagaimana kesimpulannya? Apakah wanita itu hanya tampak baik di luar, dengan balutan busana muslimah yang anggun dan akhlaq yang mulia? Bagaimana dalamnya hati wanita itu, seputih apa, sebaik apa? Atau jangan-jangan pada dasarnya laki-laki itu begitu hebat dan baiknya, namun perjalanan hidup sedikit membelokkan dia menuju sebuah ruang gelap yang menyesatkan, tanpa arah dan tujuan. Akan tetapi pada akhirnya, laki-laki itu menemukan jalan yang selama ini harusnya menjadi jalannya?

Haruskah seorang dengan panggilan ustadz menikah dengan seorang dengan wanita bergelar ustadzah? Apakah tidak mungkin ustadzah itu baru ada ketika pernikahan itu terjadi? Atau sebaliknya? Banyak cerita (baca salah satunya di sini) dan bukti yang mengarah bahwa balutan kebaikan fisik adalah bukan jaminan penilaian manusia, dan compang campingnya keburukan fisik adalah hal yang dapat membuat seseorang menjatuhkan gelar “oooh, orang ini tidak baik, jangan sampe berdekatan dengannya”. Sungguh, sempit sekali pemikiran yang demikian.

Mengapa engkau memilihnya dan pada akhirnya engkau menikahinya?

Sudah sering terdengar ungkapan bahwa jika engkau mencintai seseorang karena sebuah alasan, maka jika alasan itu sudah pudar, cintamu akan pudar bersamanya. Dalam artian, banyak orang yang tidak tahu alasan mengapa jatuh cinta, mengapa suka? Dan banyak orang bangga pula dengan ketidaktahuan alasan itu dengan tendensi berarti cintanya tulus, tanpa pamrih alasan bla bla bla…

Padahal….

Yah, Islam sudah mencontohkan semua kasus dalam kehidupan. Hadits dari Yahya bin ja’dah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR Bukhari dan Muslim).

Tidak boleh sempit menafsirkan hadits ini. Selalu banyak wacana di dalam Islam, dan itulah indahnya menggalih lebih dan lebih jauh tentangnya.

Sebuah kisah. Yahya bin Yahya an Naisaburi berkata, “Kami adalah empat laki-laki bersaudaraMuhammad, Imron, Ibrahim dan aku sendiri. Muhammad adalah kakak yang paling sulung sedangkan Imron adalah bungsu. Sedangkan aku adalah tengah-tengah. Ketika Muhammad hendak menikah, dia berorientasi pada kehormatan. Dia menikah dengan perempuan yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada dirinya. Pada akhirnya dia jadi orang yang hina. Sedangkan Imron ketika menikah berorientasi pada harta. Karenanya dia menikah dengan perempuan yang hartanya lebih banyak dibandingkan dirinya. Ternyata, pada akhirnya dia menjadi orang miskin. Keluarga istrinya merebut semua harta yang dia miliki tanpa menyisakan untuknya sedikitpun.

Maka menurut saya, harus ada sebuah alasan real, mengapa engkau menikahi pasanganmu? Nikahilah seseorang karena kau yakini agamanya baik, karena kebaikan yang terpancar dari hatinya. Dan jangan pernah menilai dengan sebelah mata bagaimana kebaikan seseorang itu. Karena sesungguhnya, kita manusia hanya mampu menilai apa yang kasat mata, apa yang tampak. Yang renik, bahkan yang tak tampak sekalipun, kita tak punya daya apapun untuk menilai. Yakinilah dengan pilihan Anda, dan berbahagialah karena engkau menikahinya.

Perjuangkan cinta yang layak membawa Anda untuk selalu dekat dengan Alloh, yang menjunjung tinggi Agama Islam. Perjuangkan hingga detik terahir, meskipun kau tau bahwa 99% adalah gagal, namun masih ada 1% celah keberhasilan.

Ganbareba, Dekiru!

5 thoughts on “Mengapa Engkau Menikahinya?

Leave a comment